Rabu, 31 Maret 2010

Mahasiswa VS Mahasiswa

Oleh: Bahrul Amsal, Ketua Umum Federasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Periode 2009-2010

Jean Paul Sartre, si empunya eksistensialis pernah di paksa turun dari podium tempat ia menyampaikan orasinya pada penghujung aksi yang dilakukannya bersama gelombang mahasiswa pada saat prancis sedang mengalami fase peralihan pasca revolusi yang terjadi pada saat itu. Kekesalan mahasiswa pada saat itu memuncak lantaran keseringannya Derrida sering menjadi orang yang paling depan untuk menyuarakan aspirasi pada zamannya. Pada momen itu mahasiswa menunjukan kesan bahwa sudah saatnya mereka bicara, bukan lagi sebagai massa yang hanya ikut dalam barisan aksi. Jauh di negeri seberang keluar digtum dari seorang pria berkopiah “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kupindahkan gunung Himalaya”, dengan lantang kalimat ini pun menjadi semangat pada saat dimana Indonesia baru keluar dari penjajahan imperialism pada saat itu. Jauh hari sebelumnya sesosok pemuda dengan teman-temannya merencanakan satu peristiwa penting yang ditulis pada buku-buku sejarah kelak. Gerombolan ini merencanakan rencana yang sangat berani, menculik presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Sukarni nama pemuda itu. Dia dan gerombolannya berniat memaksa agar Soekarno serta wakilnya untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia agar tidak lagi dijajah oleh pemerintah belanda.
Masih banyak kisah serupa seperti di atas yang menggambarkan keberanian mentalitas mahasiswa serta daya cekatan yang menjadi salah satu dari identitas yang melekat pada mahasiswa. Pada tulisan kali ini penulis hendak memetakan kepada pembaca budiman bahwa, pada dinamika kampus selalu hadir manisfestasi identitas-identitas yang mewakili mahasiswa sebagai person dalam praktik dan teoritisnya. Perlu diperhatikan dalam fakta yang ada, urgensi pada pembahasan kali ini tidak hendak mengikuti nalar mahasiswa pada konteks teoritisnya saja tapi juga meneropong seluk beluk pertarungan identitas yang nampak di permukaan sebagai pergumulan kepentingan ditinjau dari cara pandang yang ada.
Mahasiswa dikenal dengan idealisme, semangat, daya cekatan, keberanian dan seperangkat nilai yang mendorong ia sebagai civil progress di tengah-tengah masyarakat tempat ia berada. Sejarah menggariskan satu benang merah dan sampai kepada zaman dimana kita hidup, bahwa mahasiswa bukanlah ruang kosong oleh pemaknaan melainkan di dalam katanya terkandung bara api yang menyayat. Kita pada hakikatnya telah dibesarkan oleh sejarah perjuangan para pendahulu kita. Mahasiswa sebagai identitas telah kita terima sebagai baju keseharian kita. Hanya saja baju itu bagi kita tak laik lagi untuk dikenakan karena kelusuhan dan warnanya yang tak lagi cemerlang.
Hedonism: Berhala Mahasiswa
Zaman bukan lagi berbicara tentang seberapa seringkah engkau dipanggil Puang, Andi, Karaeng serta sejenis embel-embel kelas ningrat, malah sudah tergantikan seberapa panjangkah gelar akademik yang diterakan pada nama. Bukan lagi baju bodo, sirrina pacce melainkan bagaimana engkau tampil dengan barang-barang yang engkau miliki. Produk-produk telah menggantikan manusia sebagai esensi identitas sebenarnya. Mulailah zaman menjadi “pameran akbar” para penyembah barang. Jikalau pada zaman dulu, para manusia mempercayai suatu benda yang dianggap keramat memiliki roh dan memposisikan benda tersebut sebagai sesuatu yang sakral, maka tak ada perubahan sama sekali dengan zaman kita. Barang telah menjadi pujaan serta sembahan yang kita sakralkan dalam keseharian kita. Fetisisme produk yang menganggap bahwa barang-barang yang kita miliki memiliki unsur magis, roh dan pesona telah melahap habis nalar yang kita miliki. Melalui apakah unsur magis, roh dan pesona itu bekerja? Demi sebuah life style, demi sebuah prestise dan harga diri, orang-orang ikhlas menghamburkan uangnya hanya untuk dapat eksis dan dikenali oleh orang-orang di sekitarnya. Aku bergaya maka aku ada.
Hedonism telah mengambil posisi tuhan dalam hati mahasiswa sekarang. Sebuah parade kehidupan kampus yang menonjol dan telah menjadi symbol hidup para pemuja berhala produk. Keterlenaan dengan barang menjadikan mahasiswa tampil dengan isu sentral life style. Ukuran engkau ada adalah seberapa banyakkah baju yang engkau miliki, merek apakah barang dan dimana barang itu bisa di dapatkan dan juga pembicaraan absurd lainnya kini menjadi ayat-ayat yang sering dijadikan zikir pada kolektivitas religi yang mereka lakukan. Sebuah identitas baru telah hadir untuk menggusur keberadaan identitas mahasiswa sejati dalam percaturan social kampus.
Sementara pada poros yang lain, terdapat elemen lain yang senantiasa menanti datangnya perubahan dengan cara membangun kolektivitas massa melalui pertemuan-pertemuan pengetahuan. Berdiri di tengah- tengah arus budaya hedonisme sembari memperteguh niat guna meretas sejarah yang lebih baik. Satu identitas dengan comitmen tinggi yang memegang teguh amanah sejarah para pendahulunya. Mereka inilah yang kerap kali diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit untuk selalu eksis. Idiom perjuangan dan ideologisasi telah menjadi makanan keseharian mereka, buku dan diskusi adalah tameng mereka dan idealism adalah penuntun mereka.
Kampus menjadi pentas besar dalam pertarungan sejati antara dua identitas ini, antara hedonisme dan idealism, antara produk dan pikiran. Mahasiswa versus mahasiswa akan selalu terbentang dan menyeret siapa saja di antara kita untuk menjadi para pengikut-pengikutnya.[]

Selasa, 30 Maret 2010

Beraksi

blog ini di buat untuk tempat aktualisasi kawan2 pada dunia cyber istilah kerennya cyber space